Rabu, 23 Maret 2011

Pemenuhan Hak Asasi Manusia Terhadap Hak Untuk Memilih


Pemenuhan Hak Asasi Manusia Terhadap Hak Untuk Memilih


Abstrak

Di Indonesia hak untuk memilih dalam pemilihan umum tidak wajib. Ini berarti bahwa semua warga negara dapat ditentukan apakah atau tidak mereka akan menggunakan hak itu. Hak untuk memilih selalu menjadi topik yang menarik ketika mendekati pemilihan umum di Indonesia. Oleh karena itu, pemilih abstain (golput) sering menjadi isu krusial. Meskipun jumlah pemilih abstain tidak terlalu signifikan, ada kecenderungan bahwa jumlah tersebut meningkat pada setiap pemilihan umum. Secara umum, keberadaan berpantang pemilih merupakan fenomena alami karena hal ini terjadi di banyak negara. Ada dua jenis abstain pemilih merupakan fenomena alami karena hal ini terjadi di banyak negara. Ada dua jenis pemilih abstain. Yang pertama adalah berpantang pemilih yang dengan sengaja memutuskan untuk tidak memilih. Yang kedua adalah pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih. Dari perspektif hak asasi manusia, pelanggaran hak pasif untuk memilih diklasifikasikan sebagai pelanggaran hak pasif untuk memilih diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik. Sumber tersebut berasal dari martabat manusia dan ini melekat pada manusia. Ini harus dihormati dan dilindungi oleh negara.

A. Pendahuluan
            Pemilu legislatif baru saja berakhir, tidak lama lagi akan diselenggarakan Pemilu Presiden. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara,  namun ternyata dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak kekurangannya. Mulai dari tidak terdaftarnya sebagai DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak sebagai warga negara yaitu hak pemilih. Menyikapi hal demikian tentunya menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.
            Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
            Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presien.
            Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
            Hak untuk memilih wakil rakyat atau presiden/wakil presiden sepenuhnya adalah hak asasi subyektif dari setiap individu. Penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik itu negara maupun masyarakat.
            Setiap warga negara secara personal bebas menentukan penggunaan hak memilihnya, tanpa takut terhadap ancaman dalam bentuk apapun. Pemenuhan hak tersebut dijamin oleh undang-undang. Untuk itu, negara harus melindungi hak politik warga negara itu dari berbagai ancaman yang berasal dari kelompok masyarakat atau institusi negara. Jaminan perlindungan itulah yang akan menentukan kualitas pemilu.
            Dalam Pemilu legislatif yang baru saja usai terdapat kenyataan bahwa sebagian masyarakat Indonesia (20 %, menurut data Lingkaran Survey Indonesia) merupakan Golput atau tidak mempergunakan hak pilihnya, baik hal tersebut karena kesalahan dari KPU karena tidak tersedianya DPT ataupun karena kemauan sendiri dari masyarakatnya. Untuk hal tersebut sebagian masyarakat punya pandangan yang berbeda.
            Pemenuhan hak untuk menggunakan suara dalam Pemilu merupakan hak asasi manusia. Dan untuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pemenuhan tersebut sudah semestinya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini Komnas Hak Asasi Manusia beranggapan, hak memberikan suara dalam pemilu juga memberikan hak kepada pemilihnya untuk menggunakannya ataupun tidak. Dengan demikian, setiap orang bebas menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya itu. Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak itu dengan melarang, mengkriminalkan atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakan haknya tersebut. Karena sekali lagi hak tersebut menjadi sepenuhnya pilihan dari pemilihnya.

B. Pembahasan
1. Hak Memilih Merupakan Pemenuhan Hak Asasi Manusia
            HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
            Secara isilah hak asazi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.
            Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
            Jenis hak asasi manusia (HAM):
  1. Hak untuk hidup.
  2. Hak untuk memperoleh pendidikan.
  3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
  4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
  5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1.      Hak asasi pribadi / personal Right
-        Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
-        Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
-        Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
-        Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.      Hak asasi politik / Political Right
-        Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
-        Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
-        Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
-        Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3.      Hak azasi hukum / Legal Equality Right
-        Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
-        Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
-        Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4.      Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
-        Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
-        Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
-        Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
-        Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
-        Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.      Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
-        Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
-        Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.      Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
-        Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
-        Hak mendapatkan pengajaran
-        Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

            Dari sisi sistem ketatanegaraan, upaya Indonesia untuk terlibat aktif dalam memajukan dan menegakkan HAM sudah dilakukan minimal dalam 2 instrumen kebijakan yaitu kebijakan tata hukum (konstitusional) dan instrumen kelembagaan (institusional) sebagai alat untuk menjalankan instrumen yang ada.
            Berdasarkan sejarah sejak dari persiapan sampai berdiri dan pelaksanaan pemerintahan dapat ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem konstitusional sehingga masalah hak asasi manusia (HAM) menjadi hal yang sangat penting, sebab esensi konstitusionalisme itu sendiri pada dasarnya ada dua yakni, adanya perlindungan terhadap HAM dan adanya pembagian kekuasaan negara dengan sistem checks and balances agar pemerintahan dapat memberikan perlindungan terhadap HAM.
            Namun kenyataan di lapangan, praktek pelaksanaan penegakan atas hak-hak dasar manusia (HAM) di Indonesia belum sepenuhnya membuahkan perubahan progresif dan baik bagi penghargaan dan penghormatan, perlindungan terhadap otoritas kemanusiaan dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Banyak ditemukan fenomena persoalan yang menunjukan implementasi HAM belum berjalan secara maksimal.
            Implementasi penegakan HAM pun mendapat kendala struktural dan kultural. Kendala struktural bisa kita identifikasi dari fenomena belum sepenuhnya instrumen kebijakan HAM bisa dijalankan secara maksimal oleh aparatur kelembagaan dan penegak hukum dan HAM. Dari sisi kultural, terjadi pertentangan-pertentangan nilai di berbagai negara dan masyarakat mengenai konsepsi HAM yang berlaku saat ini. Ada sejumlah negara, khususnya yang berada di kawasan Asia, menganggap HAM bukan sesuatu yang universal.
            Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan HAM mendapat tantangan kultural berkaitan dengan universalitas, nilai dan prinsip HAM saat ini. Kalangan agamawan fundamentalis dan entitas adat menolak penyeragaman HAM karena sebagian prinsip dan nilai HAM bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya.
            Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
            Meskipun di dalam UUD 1945 telah dicantumkan beberapa ketentuan mendasar mengenai pengakuan dan perlindungan HAM, bahkan dijadikan isi dari staatsfundamentalnorm (Pembukaan), namun dalam kenyataannya dalam sepanjang berlakunya UUD 1945  telah banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan tidak sedikit diantaranya yang dilakukan secara massif oleh aparat pemerintah.
            Oleh sebab itu pembaruan politik hukum tentang HAM untuk jangka panjang harus diarahkan pada pembenahan konstitusi, agar mengelaborasi konstitusionalisme secara ketat di dalam pasal-pasalnya. Elaborasi konstitusionalime itu harus diarahkan pada dua hal :
1.      Mengatur kembali penataan lembaga-lembaga negara dengan distribusi kekuasaan yang seimbang dan memuat mekanisme checks an balance.
2.      Membuat rumusan-rumusan HAM secara lebih rinci dan tidak lagi memberi atribusi kewenangan untuk  mengatur lebih lanjut kecuali dalam hal-hal yang sifatnya lebih bersifat teknis operasional.
            Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
1.      Hak untuk hidup;
2.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3.      Hak mengembangkan diri;
4.      Hak memperoleh keadilan;
5.      Hak atas kebebasan pribadi;
6.      Hak atas rasa aman;
7.       Hak atas kesejahteraan;
8.      Hak turut serta dalam pemerintahan;
9.      Hak wanita;
10.   Hak anak;
            Perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam mempergunakan hak pilihnya terdapat dalam point 8 yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Hal ini dikarenakan dalam melaksanakan hak pilihnya seorang warga negara bebas untuk memilih dan dipilih dalam kaitannya untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan, seperti misalnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilu legislatif dan pemilu eksekutif.
            Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus ditempatkan dalam perspektif hukum. Hukum disusun antara lain untuk mengatur bagaimana warga negara menjalankan hak-haknya sebagai pribadi. Hak-hak warga negara secara pribadi tak dapat dijalankan di luar hukum. Negara sebagai organisasi berjalan sesuai hukum. Warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh negara dapat menggugat negara dan pejabatnya secara hukum.
            Hak-hak asasi manusia adalah materi sistem hukum. Jika hak-hak asasi manusia belum secara lengkap tercermin dalam hukum positif, maka sistem hukumnya yang harus disempurnakan. Hal ini diperlukan untuk menghindari kerancuan sistem. Karena itu, diperlukan klarifikasi kedudukan hak-hak asasi manusia di satu pihak, dan sistem hukum pada pihak lain.

2. Pandangan Terhadap Hak Pilih Warga Negara Dalam Pemilu
            Negara menegakkan kemanusiaan yang beradab. Warga negara terhadap hukum, tidak diberlakukan sebagai subjek yang secara potensial pelaku perbuatan pelanggaran hukum. Negara menghargai kesetiaan rakyat terhadap negara dan amal bakit warga terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus menghormati perjanjian luhurnya kepada negara sebagai organisasi. Siapa saja yang berikrar menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus menghormati hak negara. Negara menghormati hak-hak pribadi warga negara sesuai dengan hukum. Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan).
            Prinsip HAM universal menempatkan hak memilih atau dipilih sebagai bagian dari hak dasar manusia, yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 25) dan juga dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
            Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian Komentar Umum Pasal 25 menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik,  hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.
            Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apa pun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas (freely) turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expression, assembly and association).
            Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak. Hak untuk berbuat menurut cara tetentu seringkali ditafsirkan sebagai suatu keleluasaan (permission). Seseorang atas keinginan atau kehendaknya sendiri, mungkin menggunakan atau tidak menggunakannya.
            Dalam disiplin hak asasi manusia, tidak ada standar dan norma apa pun yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih dan dipilih. Sebaliknya yang diatur adalah kewajiban negara untuk memastikan hak ini dijamin pemenuhannya secara bebas. Apabila dikaitkan dengan keberadaan Golput, negara tetap berkewajiban untuk menghormati dan melindungi warganegara yang mengambil pilihan untuk berpartisipasi secara pasif dalam bentuk Golput tersebut.
            Hak-hak politik diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta dalam pemerintahan, dalam pembentukan ‘kehendak’ negara. Hak Politik yang menentukan di dalam demokrasi tidak langsung adalah hak suara, yakni hak warga negara untuk berperan serta dalam pemilihan parlemen, kepala negara, dan organ-organ pembuat dan pelaksana hukum yang lain.
            Sejarah politik Indonesia pernah diwarnai oleh pengalaman buruk terkait campur tangan Negara dalam hal hak untuk memilih dan dipilih pada masa Orde Baru, ketika terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap kaum yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu (Golput). Sejarah buruk itu akan berulang, apabila Negara melakukan stigmatisasi, apalagi kriminalisasi, terhadap kaum Golput dalam Pemilu 2009.
            Semestinya publik tidak terjebak dalam debat tentang Golput yang amat potensial memecah belah bangsa serta mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. Sebagai contoh, keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan Golput, yang apabila dinilai negara harus tetap berdiri di atas kepentingan semua warganegara dan tidak serta merta meneruskan fatwa haram Golput itu sebagai bagian dari kebijakan negara yang mengikat semua warganegara.
            Kebijakan pemerintahan daerah di Kebumen bahwa apabila terbukti PNS Golput akan dikenai sanksi  menurut aturan yang berlaku. Hal ini juga diterapkan di Sinjai dan Pekalongan.
            Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik menjelang pemilu di negara mana pun. Istilah golput dalam peta politik Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971, terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih.
            Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”.
            Lebih tinggi lagi, dalam produk hukum tertinggi di negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, juga tercantum hal senada. Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak. Terserah pemilihnya.
            Dari sudut hukum, jelas sekali kalau memilih dan dipilih adalah hak, demikian pula secara hak asasi. Hak untuk memilih merupakan hak perdata warga negara, demikian juga hak untuk berpendapat. Tidak ada hukum apa pun yang menyebutkan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, akan dikenakan sanksi atau dikriminalkan oleh negara.
            Secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya. Namun, untuk menghilangkan golput barangkali perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud dari hak kedaulatan yang ada pada dirinya.
            Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan memengaruhinya :
Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada sistem pemilu. Bagi masyarakat, pelaksanaan pemilu di Indonesia dinilai masih sekadar pesta demokrasi yang tidak akan membawa perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya.
Kedua, ketidakpercayaan kepada kontestan (partai politik). Mereka menganggap bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Malah yang muncul justru konflik berkepanjangan antar elite politik atau parpol pemenang pemilu.
Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin kecewa. Sehingga, akhirnya mereka tidak lagi percaya kepada elite politik dan parpol yang ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Hal tersebut ditambah lagi dengan tidak seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa. Akibatnya, membuat Dewan selalu lamban dalam merespons suatu masalah. Dari kondisi ini, mereka menganggap bahwa pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya, hanya membuang energi dan waktu saja.
Tolok ukur keberhasilan pemilu adalah peran serta aktif dalam pemilih di luar golongan putih. Sebagai tolok ukur paradoksalnya (ketidakberhasilan) adalah rendahnya peran serta parpol terhadap pendidikan politik serta kekecewaan terhadap terhadap praktik politik parpol dan elit politik memberikan wacana negatif di benak pemilih. Dengan minimal empat faktor di mana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris :
1.      Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol;
2.      Parpol sebagian kaya akibat money politik;
3.      KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society;
4.      Sistem pemilu yang rumit.
            Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.
Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat, buat apa memilih jika parpol tidak memberikan kepuasan. Dan, buat apa menyalurkan hak pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya, kekuatan politik di DPR tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar ke depan tidak mengecewakan rakyat. Masalahnya adalah bagaimana para elite politik negeri ini mampu meyakinkan masyarakat bahwa lembaga perwakilan rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan rakyat.

3. Permasalahan Hak Pilih Dalam Pemilu 2009
Di Indonesia saat ini masalah Golput menjadi perdebatan yang cukup menarik. Berdasarkan Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, tidak salah bila golput ditahbiskan sebagai pemenang pemilu, mengingat untuk saat ini partai Demokrat paling unggul dibandingkan partai lainnya dengan perolehan suara lebih dari 20 %.
Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.
Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih mencerminkan belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu di Indonesia. Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu, legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka, mereka terabaikan.
Buruknya pendataan DPT ini bukan hanya terjadi di daerah- daerah pelosok yang sulit terjangkau transportasi atau komunikasi, tetapi juga di Ibu Kota dan sekitarnya.
Di Yogyakarta, akibat rumitnya mekanisme pemberian suara di luar daerah asal, puluhan ribu mahasiswa perantauan tidak bisa memberikan suara karena sulit memperoleh surat mutasi.
Hilangnya suara pemilih kritis dalam jumlah yang sangat besar seperti sekarang ini bisa berakibat turunnya kualitas Pemilu 2009. Di UII, jumlah mahasiswa yang kehilangan kesempatan memberikan suara diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 orang. Sementara di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta jumlahnya diprediksi mencapai 39.000 orang.

C. Kesimpulan dan Saran
            Golput adalah fenomena alamiah yang pasti akan terjadi. Besaran jumlah Golput adalah batasan yang perlu benar-benar di perhatikan jumlah Golput memiliki kecenderungan meningkat, meski demikian masih terbuka peluang untuk meminimalisirnya. Namun untuk itu penyelenggaraan Pemilu di tuntut harus mendorong keterlibatan publik seluas-luasanya untuk mendapatkan informasi tentang adanya pemilihan.
            Salah satu hal mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah adanya motivasi yang beragam dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih cenderung pada kepentingan politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini seprti pendidikan politik rakyat.
            Pendidikan rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik ini juga berpotensi untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik rakyat. Peluang untuk meminimalisir atau meletakkan jumlah Golput pada posisi normal dan ideal masih terbuka luas, dengan melakukan pendidikan politik ke basis rakyat.
Apabila ingin menciptakan kehidupan politik yang demokratis, maka menjadi tanggung jawab masyarakat dan penguasa negeri ini untuk memberikan pendidikan politik yang lebih baik kepada masyarakat. Kegagalan Indonesia membangun pendidikan politik, jelas merupakan kegagalan dari elite politik dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Untuk itu, pendidikan politik ini dapat diberikan dengan mengemban amanat rakyat dan tidak mengorbankan perasaan rakyat.
            KPU dapat segera mengambil langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan kualitas data pemilih. Misalnya, melakukan perbaikan pola managemen kelembagaan dan perlunya segera melakukan up grading besar-besaran dengan sebaik-sebaiknya terhadap personalia KPU/KPUD.     
                       


DAFTAR PUSTAKA

Bhayu M.H, Memilih Atau Tidak Memilih Dalam Pemilu Adalah Hak !, www.lifeschool.wordpress.com diakses Jumat 24 April 2009

Dadan Ramdhan, Mendiskusikan Konsep dan Praktek Pendidikan HAM di Sekolah, Artikel Pendidikan Network

Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009, www.kompasonline.com, diakses pada Jumat Tanggal 24 April 2009

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media & Penerbit Nuansa, Bandung

Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009

Kompas Edisi 3 Februari 2009, Penghormatan HAM, Hak Pilih Merupakan Hak Asasi Individu,

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Oksidelfa Yanto, Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik, Media Indonesia edisi 17 September 2

Pemilu Indonesia, Dari Mana Suntikan Perolehan Suara  Demokrat ?, diakses Rabu, 28 April 2009

Refly Harun, Menggugat Hilangnya Hak Pemilih, Harian Tempo, Edisi Rabu 15 April 2009

Tataq Chidmad, SH, 2004, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Yogyakarta

Tribun Timur e-paper, Rudiyanto Siapkan Sanksi Bagi PNS yang Golput, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Pikiran Rakyat Online, PNS Golput Akan Dikenai Sanksi, diakses pada hari Rabu Tanggal 29 April 2009

Suara Merdeka, Walikota Larang PNS Golput, diakses pada hari Rabu, 29 April 2009

Situs Partai Gerindra, Bidang Hak Asasi Manusia, diakses tanggal 24 April 2009

Siaran Pers YBHI, Negara Wajib Melindungi Terhadap Hak Untuk Tidak Memilih Dalam Pemilu, diakses tanggal 24 April 2009

www.perpustakaanonlien.com, Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global, 13 Juli 2006
www.tranparencyinternational.com, DPT Kisruh, Rakyat Kehilangan Hak Pilih, diakses Jumat Tanggal 24 April 2009


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar